Sabtu, 29 Mei 2010

Manusia dan Kegelisahan - Keterasingan

Ketika kita berbicara—mengingat-ingat tentang sesuatu yang asing—yang rasanya tidak pernah terjadi di kehidupan kita namun terjadi di kehidupan orang lain, mungkin kita selalu membayangkan ‘kok ada orang yang melakukan atau bersifat seperti itu. Kehidupannya yang selalu dipenuhi misteri’. Misalnya, dapat dicontohkan, ada orang yang kebiasaannya selalu berdiam diri di tempat sepi; kuburan misalnya, atau dalam kehidupan sehari-hari ada orang yang melakukan segala sesuatu kebutuhannya dengan tangannya sendiri. Hanya kadang-kadang saja berkomunikasi dengan orang lain dan itupun hanya bersifat seputar pertanyaan, perintah atau jawaban yang super singkat.

Pernah suatu ketika, saya berjalan menyusuri sebuah komplek pekuburan. Entah mengapa, rasanya kepala ini harus selalu menengok ke kiri dan ke kanan dan tanpa sengaja melihat bentuk-bentuk kuburan—rumah orang-orang setelah mati yang ada disitu—mungkin, (nanti) kita juga akan memilikinya. Macam-macam kondisi dari kuburan-kuburan itu; ada yang nisannya sudah tidak terbaca—bahkan nisannya hilang—dindingnya yang sudah berlumut—atau sudah menjadi semak belukar karena tidak ada yang merawat lagi, tapi tetap saja ada yang tetap berpenampilan bersih—necis, dindingnya yang berbatu pualam bahkan dibuatkan atap supaya tidak kena panas atau hujan dan tentu saja selalu ada penghuni baru—tanah yang mungkin baru beberapa hari itu dibalunkan—saya tidak tahu pasti, yang jelas bunga-bunga orang mati yang tertabur begitu saja diatasnya masih tercium wangi—menyengat menyentil hidung hingga menghantarkan sesuatu rasa yang ganjil mengalir ke ubun-ubun dan menyebabkan tubuh sedikit bergidik. Memang, suasana kuburan selalu saja menciptakan keheningan yang tidak biasa. Oh ya, walaupun hari itu masih siang, namun karena lokasi pekuburan itu ditumbuhi oleh rumpun-rumpun bambu, menjadikan suasana itu begitu mistis, sehingga cahaya matahari enggan masuk memberi cahayanya kepada para penghuni apalagi yang terbaring di komplek ini.

Suasana itu ditingkahi pula oleh cericit burung-burung yang tidak kelihatan wujudnya—mungkin mereka berlompatan di setiap dahan pohon tinggi yang juga banyak tumbuh di areal komplek “perumahan” ini. Bagi saya, cericit-cericit mereka, seperti dendang selamat datang, dan jingkat-jingkat mereka dari satu pohon ke pohon lainnya seperti tarian penyambutan—dan mungkin saja mereka membentangkan sayapnya seperti hendak merangkul saya, dan mengucapkan ‘selamat datang di komplek perumahan kami’. Persis seperti seorang gubernur yang kedatangan seorang presiden—Apapun dilakukan, agar tamunya senang.

Selentingan kabar mengatakan komplek perumahan orang mati ini sangat angker. Penampakan-penampakan sering terjadi. Kebanyakan mereka yang menampakkan dirinya itu, matinya tidak normal—ada yang dibunuh, ada yang mati gara-gara utangnya menumpuk bahkan ada juga yang mati karena hartanya yang sangat banyak. Dan, seperti biasanya, cerita-cerita mistis seperti munculnya pocong, sundal bolong, genderuwo dan apalah lagi namanya begitu dipercayai masyarakat pada umumnya. Sehingga saya sendiri merasa heran, mengapa bangsa ini terlalu percaya dengan hal-hal yang tidak rasional seperti itu. Mungkin, yang ada ketika sebuah mayat telah masuk liang kubur, cacing-cacing dan semua penghuni koloni tanah siap berpesta menyantap hidangan lezat—daging busuk yang telah ditunggu-tunggu—‘siapkan sendok dan garpu’ mungkin begitulah perintah sang ratu semut—salah satu penghuni tanah dan tak kalah sigapnya dengan belatung yang sudah menyiapkan pisau-pisau tajamnya untuk menyayat kecil potongan-potongan daging busuk dan disantap beramai-ramai. itulah masyarakat Indonesia, yang dari Sabang hingga Merauke tidak pernah lepas dari kepercayaan klenik dan menomorduakan kuasa Tuhan—Allah SWT. Pantas saja, banyak bencana yang terjadi menimpa diri bangsa Indonesia—Nusantara.

Suasana kuburan, seperti menciptakan dunia hiruk pikuknya sendiri—menciptakan ‘pasarnya’ sendiri—dalam diam tentu saja. Tidak ada suara kecuali suara burung, suara jangkrik, kadang-kadang suara pacul yang sahut-sahutan bertemu dengan tanah dan batu-batu kerikil kadang sebongkah yang agak besar, atau decak canda para penggali kuburan, sekedar mencurahkan keluh kesahnya bagaimana deritanya menjadi arsitek rumah mati—kuburan. Mereka hidup dari pengharapannya kepada orang yang baru mati, atau sesekali isak tangis yang mengalun dari orang-orang yang ditinggalkan pergi oleh orang mati atau juga gunjingan yang datang dari para pelayat yang asing dan jijik melihat kematian si fulan yang penuh dengan ulat dan belatung di sekujur tubuhnya.

Ini dunia asing! Dunia yang senantiasa menanggapi suasana apapun dengan diam—dengan hening—dengan mengasingkan diri. Bahkan mayat-mayat itu sekalipun yang hanya bisa sabar mendengar gunjing dan cibiran yang mengalir dari tetangga-tetangganya yang mungkin dulu menghormatinya. Namun, di dalam keterasingan—dalam keheningan itulah kita bisa bercengkrama leluasa dengan Tuhan, atau hanya sekedar merenungi nasib yang tidak kunjung berpihak.

Begitulah keterasingan. ‘Mengapa kita harus benci diasingkan?’ Atau, ‘mengapa kita yang harus menjadi pelaku dalam upaya mengasingkan orang lain?’ Atau juga ‘mengapa kita harus selalu bertanya tentang hal-hal yang membuat orang mengasingkan atau diasingkan?’ Toh, pada kehidupan setelah mati—di alam kubur, atau di padang Mahsyar kita pun akan berjalan sendiri-sendiri bukan? Setiap pertanyaan Tuhan pun akan dijawab per-individu, bukan komunal. Jadi, mengapa harus takut dengan keterasingan?

Mengasingkan atau terasingkan dari hidup adalah salah satu pilihan yang mau tidak mau harus kita pilih salah satu—atau kedua-duanya. Ingat, di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin bukan? Karena, keterasingan hidup adalah pilihan, maka kita pun patut untuk menghormati orang-orang yang memilih jalan tersebut. Ini mungkin merupakan bagian dari salah satu cita-cita demokrasi yang menempatkan perbedaan bukanlah suatu permasalahan yang harus dianggap penting. Justru ketika kita diseragamkan—mungkin dengan nilai-nilai tertentu, hal inilah yang kerap menimbulkan suatu masalah. Maka, kita pun menjadi seperti robot, yang mudah dikendalikan akibat penyeragaman tadi. Dan akhirnya kita harus mengakui bahwa keterasingan merupakan sebuah hak asasi yang dimiliki manusia, sejajar dengan hak-hak manusia lainnya.

Tidak ada komentar: